Senin, 21 Mei 2012

indahnya persahabatan


Salman Al-farisi memang sudah waktunya menikah. Seorang wanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita mukminah lagi shalihah juga telah mengambil tempat di hatinya. Tentu bukan sebagai kekasih. Tetapi sebagai sebuah pilihan dan pilahan yang dirasa tepat. Pilihan menurut akal sehat. Dan pilihan menurut perasaan yang halus dan ruh yang suci.
Tapi bagaimanapun, ia merasa asing di sini. Madinah bukanlah tempatnya tumbuh dewasa. Madinah memiliki adat, rasa bahasa, dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalnya. Ia berfikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik bagi seorang pendatang. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi Madinah berbicara untuknya dalam khithbah. Maka disampaikanlah gelegak hati itu kepada sahabat Anshar yang dipersaudarakan dengannya, Abu Darda’.
“Subhanallah wal hamdu lillah” girang Abu Darda’ mendengarnya. Mereka tersenyum bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa cukup, beriringanlah kedua sahabat itu menuju sebuah rumah di tengah kota Madinah. Rumah dari seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa.
“Saya adalah Abu Darda’ dan ini adalah saudara saya Salman dari Persia. Allah telah memuliakanya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah saw, bahkan beliau menyebutnya sebagai ahli baitnya. Saya mewakili saudara saya ini untuk melamar putri Anda untuk dipersuntingnya”, fasih Abu Darda’ bicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni.
“Adalah kehormatan bagi kami’, ucap tuan rumah, “Menerima Anda berdua, sahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi kami bermenantukan seorang sahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada putri kami”.
Tuan rumah memberi isyarat ke arah hijab yang di belakangnya sang putri menanti dengan segala debar hati. “Maafkan kami atas keterus-terangan ini,” kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili putrinya. “Tetapi karena Anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa putri kami menolak pinangan Salman.
Namun jika Abu Darda’ kemudian mempunyai urusan yang sama, maka putri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan”. Jelas sudah. Keterusterangan yang mengejutkan, ironis sekaligus indah.
Sang putri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya. Mengejutkan dan ironis. Tapi betul-betul indah karena satu alasan; reaksi Salman. Bayangkan sebuah perasaan, di mana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati.
Bayangkan, sebongkah malu yang menghantam dan bertemu dengan gelombang kesadaran; bahwa dia memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya. “Allahu Akbar” seru Salman, “Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abu Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian”.
Cinta tak harus memiliki. Dan sejatinya kita memang tak pernah memiliki apapun dalam kehidupan ini. Salman mengajarkan kita untuk meraih kesadaran tinggi itu di tengah perasaan yang berkecamuk rumit; malu, kecewa, sedih, merasa salah memilih pengantar, merasa berada di tempat yang keliru, negeri yang salah, dan seterusnya dan seterusnya.
Kita sering merasa memiliki orang yang kita cintai. Mari belajar pada Salman. Sergapan rasa memiliki terkadang sangat memabukkan, membawa kelalaian. Kata orang Jawa: “Milik nggendhong lali”.
MU/edisi/125/muharram/1433H/